Senin, 24 Desember 2018

Mengapa Aku Menyumpahimu ( 2 )

Eka Wiyati
-------------------
🌹🌹


Malam bulan purnama menjadi saksi, seketika aku tercengang melihat kehadiran Bagus. Tidak banyak yang berubah
memang, tapi penampilannya cukup membuatku agak canggung. Terang saja model rambutnya sudah beda, seperti anggota Militer pada umumnya, meskipun dia masih dalam proses pendidikan. Tubuhnya terlihat lebih tegap dan berwibawa. Ditengah kebisuanku, Bagus mengejutkanku dengan mengucap salam.

"Assalamualaikum".  Bagus mengucap salam padaku seraya tersenyum.

"Waalaikumsallam".  Jawabku pelan.

Perlahan tapi pasti, Bagus berjalan perlahan menuju ke arahku. Aku bingung, ingin ku persilahkan Bagus masuk, tapi di dalam ada tamu nenekku. Akhirnya kami duduk di teras rumah nenekku.

"Apa kabarmu?" Bagus membuka obralan.

"Baik, kamu sendiri baik juga kan".  Aku balik bertanya.

Situasi seketika terasa hening dan kaku. Hanya semilir angin menyapaku dengan lembut. Aku tidak tau, aku merasa Bagus seperti orang asing bagiku. Aku tanya dalam hati, apakah aku mulai membencinya, atau justru sebaliknya, aku gerogi karena terkenang masa-masa bersamanya? Entahlah, yang pasti aku merasa sangat tidak nyaman. Setelah beberapa menit, ku beranikan diri bertanya, mengapa dia tiba-tiba menemuiku. Tanpa aku duga dan sama sekali tak terlintas dalam fikiranku, tiba-tiba Bagus bangun dari duduknya lalu bersujud dikakiku. Aku sangat kaget, aku malu kalau nenek dan tamunya melihat kejadian itu. Tanpa berkata-kata, aku langsung berdiri. Seraya akan ku tinggalkan dia. Tapi, Bagus menghentikan langkahku, dia pegang tanganku dan berkata.

"Jangan pergi, dengarkan aku!"  Seketika akupun berhenti, karena langkahku tertahan.

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba emosiku meluap. "Mau apa kamu sekarang, belum puas kau dan keluargamu menghinaku, belum puas kau siksa hati dan fikiranku, ataukah memang ini hobimu untuk menyiksaku".  Tubuhku bergetar, wajahku merah dan mataku berkaca-kaca.

"Selama ini sekuat tenaga ku kumpulkan keberanianku, menerima ejekan teman-temanku, yang mengataiku Bagai Pungguk Merindukan Bulan, ku redam hatiku untuk menghapus namamu, ku santunkan logikaku agar mampu meredupkan emosiku, tapi saat semua sudah ku lewati, mengapa kini kau datang kembali?"  Aku terduduk dan lemas, tanpa ku pandang Bagus yang masih bersujud dan memegang tanganku.

Sejenak aku berfikir, apa yang sudah terjadi denganku. Perlahan-lahan emosiku mulai mereda. Ku pandang Bagus yang masih tetap bersujud di kakiku. Ku minta dia berdiri, tapi dia tidak mau.

"Aku akan berdiri, kalau kau mau mendengarkanku". Bagus bicara pelan, seraya memohon dan memandangku.

"Baiklah, aku beri kau waktu 10 menit, cepat jangan bertele-tele, aku banyak tugas". Aku tegaskan pada Bagus.

"Aku tau kau marah padaku, bahkan mungkin kau telah membenciku". Bagus mulai berkata-kata dengan posisi tetap bersimpuh di depanku.

"Aku minta maaf, aku pernah memutuskamu dengan sangat tidak bijaksana, aku tahu itu tidak adil, tapi tahukah Engkau kalau aku tidak akan pernah bisa melupakanmu, sampai kapanpun bahkan sampai aku mati". Suara Bagus sangat pelan dan lambat, dia ucapkan setiap kata dengan jelas meskipun terdengar sangat pelan.

"Aku tahu, karena aku kau telah banyak dihina baik oleh teman-temanmu, tetanggamu maupun orang tuaku, tapi percayalah aku tak punya maksud seperti itu". Bagus kembali menjelaskan dengan tetap bersimpuh di kakiku.

Aku mulai larut dengan kata-katanya, tapi aku tak mau tertipu, tak ku keluarkan sepatah katapun, aku tetap diam seraya menunggu penjelasan selanjutnya. Semantara itu aku lihat tamu nenekku akan berpamitan, aku takut kejadian itu dilihat oleh nenekku dan tamunya. Aku minta Bagus berdiri dan duduk di kursi, tapi dia menolak. Aku semakin khawatir, karena mendengar tamu nenekku mengucap salam tanda berpamitan. Bagus tetap menolak untuk berdiri, aku bingung apa yang harus aku lakukan.

"Waktumu tinggal 5 menit lagi, ayo berdirilah dan pergilah dari sini".  Pintaku pada Bagus.

"Aku tidak butuh waktu 5 menit,1 menitpun cukup bagiku asalkan kau mau menerimaku kembali". Bagus bicara memohon padaku.

"Bagaimana, apakah kau mau menerimaku kembali, dan berjanjilah kau tak akan pernah membenciku". Bagus semakin memaksaku.

Sejenak ku terdiam mencerna kata-kata Bagus, aku takut jangan-jangan dia hanya menipuku. Jujur hatiku kembali berbunga-bunga, sebab sejujurnya aku masih sangat mencintainya. Logikaku kembali mengembara, aku teringat nasihat ibuku, ibuku tak kan pernah merestui hubunganku dengan Bagus sampai kapanpun. Ibu punya alasan kuat untuk keputusannya itu. Pengalaman yang mengajarkan ibu, ibu menikah dengan ayahku yang berasal dari keluarga kaya. Tapi apa yang terjadi, siksaan dan hinaan yang selalu ibu dapati. Oleh sebab itu,ibuku tidak mau aku mengalami nasib yang sama. Akan tetapi sejujurnya aku juga tidak dapat melupakan dia. Apa yang harus aku lakukan. Apakah ku turuti nasihat ibu atau kuikuti kata hatiku. Anganku melayang, naluri berkelana, jiwaku tak bertuan. Ya Allah apa yang harus aku lakukan. Aku tidak mau jadi anak durhaka, tapi juga aku mau bahagia bersamanya. Sedangkan, aku berada diantara ke duanya.

"Hai..." Suara Bagus menyadarkan lamunanku.

"Bagaimana, apakah kau mau menerimaku kembali, aku janji takkan pernah ku sakiti hati dan fisikmu untuk selamanya, takkan pernah ku tinggalkan kau kecuali maut pemisahnya, percayalah hanya kau yang ada di hati dan fikiranku, aku hanya mau kau sebagai pendamping hidupku". Suara Bagus terdengar jelas dan menusuk qolbuku, untuk yang ke sekian kalinya jiwaku dibawa hanyut ke alam bawah sadar, mengembara bak dunia milik kami berdua, dengan tetap bersimpuh dan memegang tanganku.

Terdengar langkah dari dalam rumah nenekku,sepertinya tamu nenekku sebentar lagi keluar. Aku semakin gugup, aku masih belum yakin dengan semua yang Bagus ucapkan, tapi aku tidak mau nenekku mengetahi kedatangan Bagus, apalagi melihatnya bersujud dan bersimpuh di depanku.

"Baiklah, sebenarnya aku belum yakin dengan semua yang kau ucapkan, bangunlah akan ku jawab pertanyaanmu". Aku menarik tangan Bagus, tapi dia tetap menolak untuk bangun sebelum aku mengiyakan permintaannya.

"Aku tidak tau semua yang kau ucapkan itu benar atau rekayasa, aku hanya berharap kau tidak akan mempermainkan perasaanku". Perlahan dan hati-hati ku sampaikan jawabanku.

"Jujur sampai hari ini akupun belum bisa melupakanmu, tapi sesungguhnya aku ikhlas dengan semua yang sudah terjadi, aku sadar siapa aku, tak kan ku paksakan bersamamu, tapi jika memang ini maumu, aku terima kau kembali dengan satu syarat". Ku hentikan kalimatku, karena Bagus memegang tanganku sangat erat.

"Apapun syaratnya aku terima, yang penting aku bisa bersamu selamanya". Bagus tak sabar mendengar syaratku.

"Aku menerimamu dengan ketulusan hatiku, saat dulu kau tinggalkan aku seraya duniapun meninggalkanku, jika kini kau ingin kita kembali bersama, berjanjilah kau tidak akan pernah menyakitiku dalam bentuk apapun". Aku diam aku rapihkan hatiku agar jiwaku tetap tenang.

"Jika setelah ini kau menyakitiku, maka aku bersumpah hidupmu tidak akan bahagia, takkan pernah tercapai cita-citamu sebelum aku memaafkamu". Kuucapkan sumpah itu, sumpah yang tak pernah ku bayangkan menjadi kenyataan.

Bagus bangun dan berdiri, dia memandangku dengan senyum serta tetap memegang tanganku.

"Aku terima semua sumpahmu, karena aku yakin aku takkan pernah menyakitimu". Bagus dengan keyakinan yang penuh menjawabku.

Tamu nenekku sudah di depan pintu yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempat kami berdiri. Aku meminta Bagus melepaskan tanganku dan minta dia pergi, karena aku tidak mau nenek melihatnya. Bagus berpamitan dan meminta agar aku memegang semua kata-katanya, dia berjanji akan menjaga kepercayaanku dan meminta aku menunggunya sampai dia kembali setelah menyelesaikan pendidikannya sebagai TNI.

Seperti ada yang hilang, aku lepas dan ku pandang Bagus sampai bayang-bayangnya tak nampak lagi di ujung jalan. Aku hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja. Terlintas dalam ingatanku semua nasihat ibuku, tapi entahlah virus cinta mengalahkan logikaku.

Setahun kemudian.....

------------ bersambung

2 komentar: