Senin, 24 Desember 2018

Mengapa Aku Menyumpahimu ( 3 )

Eka Wiyati
------------------
🌹🌹


===========
Setahun kemudian

Malam itu adalah malam bulan purnama, malam di mana setahun yang lalu Bagus pergi meninggalkanku untuk melanjutkan pendidikannya. Waktu berjalan begitu lambat, sehari serasa setahun, setahun serasa sewindu.
Begitulah rasanya orang menunggu.

Tidak satu kabarpun aku terima, baik dalam bentuk surat maupun telepon. Maklumlah, waktu itu kondisinya berbeda dengan saat ini. Informasi sangatlah terbatas bagiku, tak seorangpun tahu tentang kesepakatan kami. Hanya bermodalkan kepercayaan kami jalin kisah ini. Long Distance Relationship (LDR) kalau istilah anak sekarang.

Aku tetap beraktifitas seperti biasa, menjalani hari-hariku sebagai mahasiswi. Selain sebagai mahasiswi aku juga aktif mengikuti kegiatan organisasi yang ada di kampusku. Aku tercatat sebagai salah satu pengurus Kohati (H
MI cabang Metro), anggota DLMST dan juga beberapa organisasi keagamaan yang ada di wilayahku.

Hari-hari aku jalani dengan penuh semangat dan harapan. Harapan untuk hari esok yang lebih baik. Di setiap kesibukanku, ada teman baikku yang selalu membantuku, Aman namanya. Aman teman satu desaku, bahkan dia temanku sejak TK. Ketika aku dalam kesulitan Aman selalu membantuku, kebetulan dia juga satu kampus denganku hanya saja beda prodi.

Ketika aku sedang menikmati hari-hariku, tiba-tiba saja salah seorang temanku datang menemuiku. Anisa namanya, dia teman bermainku semasa kecil. Hari itu masih aku ingat, itu adalah bulan ramadhan.

Anisa bertanya padaku tentang hubunganku dengan Bagus. Anisa tahu kalau selama ini hubunganku dan Bagus tidak direstui oleh ibuku, dia tidak tahu kalau Bagus dan aku menjalani LDR. Anisa berfikir kisah kami sudah berakhir sejak kami lulus SMU.

"Selamat aku ucapkan untukmu." Anisa melempar senyumnya padaku.

"Selamat, apa maksudmu Nisa?" Bola mataku mencari jawaban.

"Iya selamat, selama ini kamu telah mengambil keputusan yang benar, kamu anak yang berbakti kepada orang tuamu." Anganku menerawang kata-kata Anisa.

Aku paksa Anisa untuk cerita yang sebenarnya. Anisa menatapku dengan tajam, aku semakin penasaran. Fikiranku mengudara, mencari, menduga dan mengembara tak tentu arah.

"Tolong Nisa bicaralah yang jelas, jangan membuat aku mati penasaran!" Jiwaku bergemuruh, menunggu jawaban Anisa.

"Tenanglah, maaf aku membuatmu penasaran, duduklah, aku akan ceritakan semua." Senyum Anisa menyejukkan jiwaku.

"Maaf, kalau kedatanganku mengejutkanmu, atau bahkan mengganggu fikiranmu." Lembut senyum Anisa semakin meneduhkan naluriku.

"Aku datang ke sini, karena aku mendengar kabar." Anisa diam dan kembali menatapku.

"Sebelum aku cerita berjanjilah kau akan baik-baik saja, sebab ini hanya berita biasa kok, bukan berita yang sedang viral, hanya saja aku ingin memberi tahumu serta mengucapkan selamat padamu." Suara lembut Anisa menundukkan logikaku.

"Baiklah, aku janji, pleace!" Aku lempar senyum ke Anisa tanda setuju.

"Cepat Nisa, jantungku mau copot nih." Aku memasang senyum manis, untuk meyakinkan Anisa, kalau aku baik-baik saja.

"Maaf, semalam aku dengar kabar, kalau Bagus telah...

"Telah apa?" Aku menyela kalimat Anisa

"Bukankah kau sudah janji, akan baik-baik saja, kuasai jiwamu atau aku tak akan menyampaikan kabar ini." Anisa menatap kecewa padaku.

"Baik-baik, maafkan aku." Kembali ku lempar senyum kepada Anisa.

"Maaf, kau tidak perlu minta maaf padaku, dengar baik-baik, ingat jangan lebay ya." Tatapan anisa menusuk jantungku.

"Semalam aku mendengar kabar bahwa Bagus telah menikah." Duar, seperti suara gunung meletus, suara Anisa di telingaku.

Seketika dunia terasa gelap, langit serasa runtuh, bumi bergoncang, tubuhku lemas, mulutku terkunci, mataku terbelalak tapi pandanganku terasa gelap.

"Apa yang terjadi denganmu, sadarlah!" Anisa menyadarkanku.

Anisa memegangku erat-erat, seraya memelukku dan mengajakku duduk. Aku masih belum mampu menguwasai jiwaku. Kembali anganku melayang, aku teringan sebuah sair lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi legandaris Rita Sugiarto yang berjudul janji.

..........
Dulu kau berlutut di kakiku
Tuk mengharapkan cintaku
Hingga terbuka pintu hatiku
Tuk menerima cintamu

Tapi setelah aku,
Jatuh cinta padamu
Engkau begitu mudah
Melupakan diriku....

Anisa kembali menyadarkanku, kali ini aku mulai sadar, karena Anisa mengusap wajahku dengan air dan mengajakku beristighfar.

"Maaf Nisa, aku, aku," lidahku bagai terpenjara.

"Bukankah dari semula aku sudah meminta padamu agar menguwasai jiwamu, aku tau Bagus dan dirimu pernah bersama, tapi bukankah itu dulu, jadi kalau sekarang ternyata Bagus menikah dengan orang lain, seharusnya itu bukan masalah bagimu, satu hal lagi bukankah Bagus tidak diinginkan ibumu?" Bagai bola api, kata-kata Anisa di telingaku.

Setiap kata-kata Anisa aku cermati dan aku benarkan dalam hati, tapi masalahnya Anisa tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Selama ini ibumu sudah benar, karena melarangmu berhubungan dengan Bagus, Bagus tidak baik untukmu, selain keluarganya yang sombong karena merasa orang kaya, Bagus ternyata tidak baik, faktanya dia tidak mampu menyelesaikan pendidikanya dan menikah dengan orang lain." Suara Anisa menggelegar, melemahkan jiwaku.

"Aku tahu kamu pasti terkejut mendengar berita ini, tapi ini tidak penting bagimu, ini sudah jadi bukti, bahwa Allah sudah menyiapkan yang terbaik untukmu." Tertunduk aku mendengar pedasnya nasihat Anisa.

Sejenak situasi menjadi hening, dengan sekuat tenaga aku berusaha tegar di hadapan Anisa. Walaupun berat, tak ku jelaskan apapun pada Anisa.

"Kau benar Nisa, maaf aku terlalu melo, tak seharusnya aku bersikap demikian, toh Bagus bukan siapa-siapaku, terimakasih atas semua nasihatmu." Ku pasang senyum paling manis membalut keresahan hati dan fikiranku yang saat ini sedang bergemuruh.

"Oh iya Nisa, darimana kau tahu berita itu, terus kenapa dia tidak mengundangku, lalu dengan siapa dia menikah, terus satu lagi bukankah secara peraturan pendidikannya, dia belum boleh menikah?" Bak senapan yang ku tarik pelatuknya, ku lesatkan peluru-peluru pertanyaan yang beruntun.

"Tenanglah akan aku jawab pertanyaanmu satu-persatu, tapi maaf ya, pertanyaanmu bak kereta api yang lepas dari relnya." Anisa menggodaku, untuk mencairkan situasi.

"Aku mendengar berita itu dari sepupuku, karena dia tetangga dekat Bagus, tidak satupun diundang karena memang hanya ijab kobul saja, tidak ada resepsi, lalu." Bola mata Anisa memindaiku.

"Kenapa Nisa, ayo lanjutkan!" Aku balas tajamnya pandangan Anisa, yang semakin menggetarkan jiwaku.

"Bagus menikah dengan Nia." Suara Anisa bagai petir di tengah kemarau.

Betapa tidak, Nia yang selama ini hanya teman biasa kata Bagus, ternyata justru dialah yang telah menikah dengan Bagus. Aku hanya bisa diam dan tak mampu lagi berkata-kata. Azan berkumandang, waktu ashar telah tiba. Anisa berpamitan karena harus membatu ibunya menyiapkan menu berbuka puasa.

Sebelum pergi Anisa kembali mengingatkan aku, agar aku tidak memikirkan masalah itu. Aku merasa semua telah hancur, apapun yang terjadi aku hanya bisa diam. Hati dan fikiranku bergemuruh, jiwaku bergoncang. Tapi apa yang bisa aku lakukan, mengadu kepada siapa, aku hanya bisa menangis dalam hati dan membiarkan senyumku terus berkembang.

Sejuta pertanyaan berhamburan di benakku, terlintas dalam ingatanku semua nasihat ibuku. Ini salahku kenapa selama ini aku tidak jujur pada ibuku, aku memang bodoh, inilah cara Allah menegurku agar menjadi insan yang lebih baik lagi.

Sekuat tenaga aku mencoba berpositif tinking dengan semua kejadian ini. Mesti berat, aku coba menyusuri hikmah dari semua ini, karena aku yakin tak ada yang sia-sia. Sebab yang terjadi pasti atas izin Allah.

Meskipun telah ku giring hati dan fikiranku untuk tetap tegar, tapi sebagai insan biasa jujur ku akui, ku ingin tau apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya bisa berdoa bahwa suatu hari nanti Bagus akan datang dan menjelaskan semuanya. Walaupun aku sendiri tidak tahu masih ingatkah dia padaku.

Sejak saat itu, ku kunci hatiku rapat-rapat. Lebih baik kufokuskan hidupku dengan pendidikanku, agar menjadi orang sukses.

Bersambung-------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar