Senin, 24 Desember 2018

Mengapa Aku Menyumpahimu ( 5 )

Eka Wiyati
------------------
🌹🌹



Jiwaku kembali bergemuruh, tubuhku rasa tak bertulang. Aku diam seribu bahasa, bola mataku melesat
ke arah suamiku, telingaku terbuka lebar. Seketika aku rasakan pancaroba, keringat dinginku mengalir.

Jujur aku takut, khawair tentang hal yang membawaku ke ujung tanduk. Aku hanya bisa berdoa semoga semua baik-baik saja. Tidak lama kemudian, kembali terdengar suara suamiku. Ingin aku mendekati dan mendengar pembicaraan mereka, tapi tiba-tiba gadis kecilku menangis.

Aku berlalu, aku tinggalkan suamiku yang sedang berbicara dengan Bagus. Hatiku semakin resah, jantungku berdenyut sangat kencang, serasa atlet paragames yang bersaing memasuki garis finis. Tanpa aku sadari dalam diamku, senyum hangat suamiku menyelimuti heningku.

"Maaf, aku menenangkan si kecil." Gugub aku dibuatnya.

Tidak berapa lama, gadis kecilku pun tertidur. Di ujung peraduan, suamiku menghampiriku. Tatapannya penuh misteri. Sekuat tenaga aku tangkis tatapan tajam itu dengan senyuman hambar. Hatiku bertanya-tanya, mulutku terkunci, kembali tubuhku bergetar.

Situasi bag di kutub utara, sunyi senyap, tak terdengar nyanyian malam, hanya sesekali angin bersenandung menyapa bulu kudukku. Harap-harap cemas, sayup-sayup lembut suara suamiku terdengar, memecah keheningan.

Dia mengajakku duduk, dipegang kedua tanganku yang sedingin salju, ditatap wajahku yang serupa bulan kesiangan. Darahku mendidih, pijaran bola mata suamiku semakin melemahkan jiwaku. Sebenarnya apa yang terjadi denganku.

"Aku tidak tahu darimana harus memulainya,hhaaa," suamiku menarik nafas panjang.

"Tolong jawab pertanyaanku, tak kan luput satupun dustamu dari pantauanku, jujurlah karena itu lebih baik!" Garang tatapannya bag ceo yang menangkap basah kecurangan bawahannya.

"Maaf, apa maksudnya ini," aku pura-pura tidak tahu.

"Jawab saja pertanyaanku, jangan terbiasa balas bertanya saat ditanya!" Instruksi suamiku, membawaku ke kursi panas.

"Baiklah, aku janji akan menjawab semuanya, tapi tolong bicaralah dengan jelas." Lirih suaraku, menghiba.

"Benarkah sudah tidak ada lagi Bagus di hatimu?" Suara lembut itu, bergema di telingaku.

Aku hanya diam dan menyembunyikan kalutku. Kembali suamiku bertanya, dengan pertanyaan yang sama hingga terulang sampai tiga kali. Perlahan dan pasti tatapan wajah suamiku mulai meredup, senyum tipis di sudut bibirnya membangkitkan keberanianku.

"Sungguh aku hanya bicara kebenaran, tak sedikitpun terselip dusta di hati dan lisanku, kalau engkau tak percaya wahai suamiku tolong tatap bola mata lemah ini." Sembari ku genggam erat tangan suamiku, bola mata kamipun beradu.

"Bagus masa laluku, telah ku kubur jauh di luar lupuk hatiku, bahkan tak pernah ku agendakan untuk menjiarahinya." Jiwaku mulai stabil.

"Jadi tidak benar kalau dia masih di hatiku, ingat mungkin iya, karena itu masa yang pernah aku lewati, tapi aku tidak meminta engkau percaya, sebab aku tidak punya saksi." Ku lepaskan pandanganku, agar lisanku lebih ringan.

"Kalau engkau mau bukti, katakan selama aku bisa, pasti akan aku penuhi." Lisanku mulai ringan.

Pandangan syahdu suamiku, kembali menyiutkan jiwaku.

"Baiklah, aku percaya, aku tidak butuh saksi ataupun bukti, keberadaanmu di sisihku sampai detik ini sudah menjawab semuanya." Senyum simpul suamiku menyimpan misteri.

"Maaf, apa yang sebenarnya terjadi, apa yang kalian bicarakan." Kepo aku dibuatnya.

"Antara percaya dan tidak, tapi ini faktanya, bahkan di kisah fiksipun ini seribu satu." Cerita suamiku penuh tanda tanya.

"Tahukah engkau , Apa yang dikatakan Bagus kepadaku?" Suamiku menghentikan kalimatnya.

"Apa?" Tanyaku bagai menunggu durian runtuh.

"Hhaa," kembali suamiku menarik nafas panjang.

"Aku tidak tahu, apakah harus senang atau harus marah, aku hanya mencoba memahami situasi ini." Kembali suamiku melempar bola panas.

Jiwaku kembali resah, menduga, meraba bahkan merayu agar aku tak hanyat dalam ketakutanku. Aku hanya bisa diam, menunggu fakta yang akan di suguhkan suamiku.

"Bagus bilang kepadaku, bahwa dia masih mencintaimu, bahkan sampai dia mati tidak akan pernah hilang namamu dari hati dan ingatannya." Suara itu membakar jiwaku.

"Bukan itu saja, Bagus meminta agar aku menjagamu, dia tidak rela seujung kuku pun aku menyakitimu." Wajah suamiku bagai terpanggang pandai besi.

"Dia fikir aku ini siapa? Tapi ya sudahlah, aku mencoba memahami situasi ini, karena dia pasti punya alasan kuat, sampai dia berani melakukan ini semua." Tegas nada suamiku, tanpa memandangku.

Bukan hanya suamiku, akupun merasa kehausan di tengah hujan. Aku kembali teringat pesan Bagus yang menyatakan bahwa dia hanya punya waktu 5 tahun lagi. Kami diam dan hanya bisa saling memandang.

"Lalu Abi jawab apa?" Merayap lisanku ingin tahu jawaban suamiku.

Kembali suamiku diam dan mengangkat alisnya. Aku semakin gugup dan khawatir melihat ekspresi suamiku. Jujur aku merasa bersalah karena selama ini tidak menceritakan tentang keinginan dan perasaan Bagus kepadaku saat ini. Tapi aku melakukan semua ini bukan untuk membohongi suamiku, aku hanya ingin menjaga perasaannya. Bahkan tidak terlintas dalam ingatanku, kalau justru Bagus yang menyampaikan sendiri kepada suamiku.

Tapi ya sudahlah, mungkin ini semua memang sudah fasenya. Apapun yang terjadi, aku akan terima. Sekilas aku lihat, suamiku bersiap melanjutkan ceritanya.

"Aku harus jawab apa, dia telah menyampaikan isi hatinya, walapun sebagai laki-laki  beristri aku tidak akan pernah melakukan itu." Perlahan dan pasti suamiku berkisah, tanpa memandangku.

"Aku hanya bilang, silahkan saja, asal kau masih mampu menampungnya." Singkat jawaban suamiku di luar dugaanku.

Aku heran kok suamiku bisa sesantai itu, tapi ya sudahlah mungkin itu lebih baik, aku tidak berani bertanya lagi, hanya saja aku sungguh tidak mengerti. Benarkah suamiku tidak cemburu, atau memang begitu ekspresi cemburunya, tapi entahlah yang pasti ini sudah terjadi. Aku berfikir ini saat yang tepat untuk menceritakan semuanya.

"Sekarang semua terserah padamu, aku tahu Dia masa lalumu, masa lalu yang belum tuntas, kalau memang ini mau dituntaskan silahkan saja." Suamiku meminta penjelasanku.

"Maaf, semua sudah selesai, tidak ada lagi yang perlu dibahas." Singkat jawabanku ingin mengakhiri percakapan malam itu.

"Tidak, ini belum selesai, faktanya dia masih menghubungimu." Kembali suamiku beropini.

"Baiklah, Abi memang benar, sejujurnya masih ada yang mengganggu fikiranku," logikaku tidak mampu lagi bertahan.

"Bagus bilang waktunya tinggal 5 tahun lagi, dia sakit. Dia bilang sebelum waktunya tiba, dia ingin bertemu denganku, atau setidaknya dia mau mendengar kalimat cinta untuknya." Tidak sanggup lagi aku berkata-kata, tenggorokanku terasa tercekik.

"Temui dia!" Kalimat suamiku mengejutkanku.

"Apa maksud Abi?" Terkejut aku dibuatnya.

"Iya, temui saja dia, mungkin dengan demikian semuanya akan berakhir." Tajam tatapan suamiku, tanpa sehelai senyumpun.

Aku semakin resah, aku semakin tidak mengerti situasi ini. Siapa sebenarnya yang gila, aku yang berada diantara mereka, atau mereka yang gila karena aku. Sungguh ini semua di luar logikaku.

"Tidak, tidak, jangankan menemuinya, mengucapkan kata iyapun itu tidak akan pernah aku lakukan." Darahku mendidih.

"Terlepas ini benar atau modus, tapi maaf, aku tidak akan melakukan itu semua." Kembali ku tegaskan keputusanku.

"Baiklah, aku percaya kau tidak akan melakukan itu, aku hanya tidak mau masalah ini berkepanjangan." Tersirat senyum penuh misteri dibalik stetmen suamiku.

Bukan aku mencurigai suamiku, cuma aneh saja, tapi ya sudahlah aku mencoba berpositif tinking saja. Setidaknya aku sudah merasa lega, karena telah aku ceritakan semuanya kepada suamiku.

Malam semakin larut, kami mengakhiri percakapan malam itu dengan saling memaafkan.

Peristiwa itu terjadi diakhir tahun, tahun baru telah tiba, telah aku lupakan kisah itu. Aku menganggap semua telah selesai. Akan tetapi kembali di luar dugaanku, Bagus kembali menghubungiku.

Bulan februari 2018, awalnya dia bertanya kabar, setelah itu dia kembali bercerita tentang waktunya yang tidak lama lagi. Dia bilang sudah bertahun-tahun tidak pulang kampung, terakhir saat Sinta meninggal. Dia merasa tidak ada lagi artinya pulang kampung.

Akan tetapi lebaran tahun ini, dia akan pulang, dia pulang hanya ingin bertemu denganku. Dia ingin minta maaf secara langsung supaya sisa hidupnya lebih tenang. Antara percaya dan tidak, sungguh yang pasti dia kembali mengusik jiwaku.

Kembali aku tegaskan, aku telah memaafkan dan menganggap semua telah selesai tanpa harus bertemu, itu sudah cukup bagiku. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang ada dalam benaknya, tapi yang jelas tidak akan aku temui dia, kecuali dia bertamu ke rumahku, atas izin suamiku.

Ramadhan telah tiba, idul fitri sebentar lagi. Bagus kembali menghubungiku, dia bilang saat liburan tiba, Nia akan pulang lebih dulu. Dia mengirimkan foto tiket pesawat yang telah dipesannya, dan itu sangat tidak penting untukku.

"Assalamualaikum, maaf aku kirimkan foto tiket pesawat itu sebagai bukti keseriusanku, kalau aku akan datang menemuiku." Penjelasan Bagus, membuat aku infile.

"Aku translite ke Jakarta, aku akan singgah dulu ke rumah kakakku, kau tahu fotomu waktu SMU masih tersimpan rapi di album keluargaku yang tersimpan di rumah kakakku. Aku kesana untuk melihat itu, maklumlah kita sudah 12 tahun tidak bertemu, aku rasa banyak yang sudah berubah, kecuali cintaku kepadamu." Bagus bicara seolah dia hidup di negeri dongeng, sungguh aku tidak tahan mendengarnya.

"Apapun alasanmu, aku tidak peduli. Kalaupun kau ingin pulang, pulang saja, jangan jadikan aku kambing hitamnya." Aku pasang nada tinggi, agar dia pahami.

"Kalau kau sakit berobatlah, semoga cepat sembuh, tapi jangan jadikan aku penghalangmu, karena aku bukan siapa-siapa. Maaf, aku rasa semua sudah jelas." Nuttt, aku tutup telponku dan aku biarkan semua berlalu.

Bersambung---------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar