Senin, 24 Desember 2018

Mengapa Aku Menyumpahimu ( 4 )

Eka Wiyati
-----------------
🌹🌹


10 tahun kemudian
================

Pagi yang cerah, aku sempatkan diri berkunjung ke rumah salah satu saudaraku. Berawal dari pembicaraan yang ringan, sampai akhirnya saudaraku bercerita kepadaku. Dia menceritakan tentang kisah

seorang anak kecil yang sakit dan tidak diketahui sakitnya. Si kecil sudah di bawa berobat kemana-mana, tapi tak kunjung sembuh.

Aku penasaran siapa anak kecil itu, mengapa saudaraku sepertinya sangat mengenal dia. Saat aku bertanya, betapa terkejutnya aku, karena ternyata si kecil adalah anak pertama Bagus dan Nia. Sinta namanya.

Termenung aku dibuatnya, tidak munafik ingatanku dalam sekejap kembali pada 10 tahun silam. Aku rapihkan hatiku, aku lempar senyum termanis pada saudaraku. Saudaraku berkisah, sepuluh tahun sudah Bagus meninggalkan tempat kelahirannya. Dia pergi jauh dari pulau Sumatera bersama Nia, serta meninggalkan anak pertamanya diasuh oleh orang tua Nia.

Beribu, berjuta bahkan bermilyar pertanyaan berhamburan di anganku. Saudaraku kembali berkisah, tentang kondisi Sinta yang semakin hari semakin memburuk. Banyak biaya sudah di keluarkan, bahkan sekarang kondisi keuangan orang tua Nia tidak seperti dulu lagi. Sebab memang benar roda itu berputar, seperti juga kehidupan yang terus berjalan.

Hari sudah senja, akupun pulang dari rumah saudaraku. Saat ini aku bukan remaja lagi, aku telah menikah dan memiliki seorang putri. Tapi di kisah ini tidak akan aku ceritakan perjalanan rumah tanggaku.

Setibanya di rumah, setelah sholat maghrib dan tadarus Al quran, kami bertiga duduk santai sambil menikmati malam. Malam itu tidak seperti biasa, hatiku terasa gelisah, fikiranku resah, terasa bernafaspun menjadi susah. Aku hanya bisa mendesah, menatab kosong tak tentu arah.

Ternyata tanpa aku sadari, suamiku memperhatikan tingkahku. Sepertinya dia curiga, setelah putri kecilku tidur, suamiku bertanya padaku.

"Sepertinya ada yang salting nih," lembut suara suamiku, membangunkan lamunanku.

"Tidak, siapa yang salting, korban sinetron ya," aku ngeles.

Seketika aku berdiri, untuk menghindari pertanyaan suamiku.

"Maaf sepertinya si cantik mau ibunya istirahat nih," kulempar senyum termanis, dan ku tinggalkan suamiku.

Seminggu sejak kejadian itu, lama-lama aku tidak tahan juga, apalagi setelah aku mendengar berita Sinta kondisinya semakin memburuk. Seketika anganku melayang, aku teringat pernah menyumpahi Bagus. Aku bingung, ingin aku bercerita pada suamiku, tapi aku takut. Aku takut, kalau suamiku berfikir, selama ini aku masih mencintai Bagus.

Setelah aku berkompromi dengan hati dan logikaku, aku beranikan diri menceritakan semuanya pada suamiku. Aku merasa bersalah, aku takut sakitnya Sinta adalah salah satu akibat dari sumpah itu. Walaupun ini terdengar emposible, tapi hatiku selalu berkata ini salahku.

Aku ingin menjenguk Sinta, tapi aku takut orang tua Nia salah paham. Singkat cerita aku minta suamiku untuk menjenguk Sinta, dengan alasan menawarkan asuransi kesehatan.

Suamiku sangat mengerti aku, dia pergi menjenguk Sinta yang tinggal di desa sebelah. Dia tinggal dengan neneknya. Bermodal gaya sebagai agen asuransi kesehatan, suamiku diterima dengan baik oleh orang tua Nia.

Tidak sabar aku menunggu suamiku.

"Assalamualaikum," suara lembut suamiku

"Walaikumsallam, maaf bagaimana keadaannya, apa yang sebenarnya terjadi, mengapa orang tuanya meninggalkan dia bersama neneknya?" Tergopoh-gopoh kusambut suamiku, beribu pertanyaan berhamburan di benakku.

"Tenang, biarkan aku duduk dulu, takkan lari gunung di kejar." Tatapan tajam suamiku, menundukkan jiwaku.

"Maaf, aku terlalu terobsesi, maklum ingat mantan," kedipan mataku di tangkis senyum hangat suamiku.

"Aku dengar dari neneknya, Sinta sakit-sakitan, tapi dua tahun terakhir ini yang parah." Suamiku menarik nafas panjang sambil menikmati kopi hitam kesukaannya.

"Sejak lahir dia tinggal bersama kakek dan neneknya, sedang kedua orang tuanya merantau meninggalkan pulau sumatera," pandangan suamiku menyapu anganku.

"Apakah engkau masih mencintai Bagus, wahai sayangku?" Lembut suara suamiku menusuk qolbuku.

"Tidak, takkan ku sisakan sedikitpun ruang untuknya." Seketika wajahku bagai kepiting panggang.

"Baiklah, aku percaya, tapi mengapa engkau peduli dengan anaknya," bola mata suamiku berpijar, menyiutkan nyaliku.

"Aku hanya ingin tahu benarkah Sinta sakit, dan aku teringat sumpah yang aku berikan pada ayahnya." Anganku melayang ke masa silam.

"Aku tau ini mungkin berlebihan tapi entahlah, aku merasa bersalah karena ucapanku." Tak terasa meneteslah air mataku.

"Aku hanya bisa berdoa dan berharab Sinta baik-baik saja." Semilir angin menyapu wajah tegangku.

"Tenanglah, kita hidup di zaman now, jangan berfikir primitif, aku yakin Sakitnya tidak ada hubungannya dengan sumpahmu." Tajam pandangan suamiku, menembus anganku.

"Semoga saja itu benar, Sinta tidak bersalah!" Wajahku meredup.

Beberapa bulan kemudian, terdengar kabar kalau Sinta meninggal. Saat itu aku sedang pergi ke luar kota. Aku mendengar kabar itu dari saudaraku.

Sepulangnya aku dari luar kota, aku mencoba mencari tahu, aku teringat pada Anisa, kemungkinan besar Anisa tahu masalah ini. Tanpa berfikir panjang aku pergi menemui Anisa. Anisa sangat senang melihatku, maklumlah kami sudah lama tidak bertemu.

"Apa kabar nisa, senang kita bisa bersua," aku disambut senyum hangat Anisa.

"Kabarku baik, bagaimana denganmu, baik juga kan?" Lembut suara Anisa menyapaku dengan hangat.

Tanpa aku bertanya Anisa langsung bercerita padaku. Tentang meninggalnya Sinta. Sakit aneh yang sampai membawanya ke surga.

"Sungguh miris dan ironis, tahukah engkau, sampai saat ini Bagus masih mencintaimu." Suara Anisa sedikit mendesah.

"Kemarin pada saat pemakaman Sinta, Bagus datang dan menemuiku." Pandangan Anisa sedingin salju.

"Aku tahu ini tidak benar, aku pun tidak percaya, Bagus memintaku untuk menemuimu." Suara itu menggelitik jiwaku.

"Bagus mau minta maaf, serta mau menjelaskan semua yang terjadi." Senyum hangat Anisa meyakinkanku.

"Tidak Nisa, aku tidak akan tertipu lagi, sekarang situasinya sudah berbeda, kini aku tak sendiri lagi, begitu juga dengannya." Bulat-bulat ku sampaikan jawabanku.

"Aku tahu, aku pun tidak punya hak untuk memaksamu, aku hanya menyampaikan pesan Bagus." Lirih suara Anisa meyakinkanku.

"Terimakasih, sampaikan padanya, bahwa aku telah memaafkannya, dia tidak perlu menemuiku." Pandanganku menyapu wajah Anisa yang menatap tajam padaku.

"Sungguh tragis, hidup Bagus sengsara, cita-citanya putus di jalan, dia diusir mertuanya, dia juga harus berpisah dengan anaknya, bahkan sampai anaknya meninggalkan dunia ini." Awan hitam menyelimuti wajah Anisa.

"Aku tau Nisa, apapun alasannya, tidak mungkin aku menemui dia." Bola mataku mulai berkaca-kaca.

Tidak terasa tiga jam sudah aku di rumah Anisa. Tanpa menjelaskan apapun aku berpamitan pada Anisa. Aku percaya, dia paham dengan sikapku.

Setibanya di rumah, aku ceritakan semuanya kepada suamiku, karena aku tidak mau menyembunyikan apapun dari suamiku. Suamiku tersenyum mendengar ceritaku, tanpa satu komentarpun keluar dari bibir seksinya.

Sampai terjadilah rangkaian cerita itu, cerita dimana pada akhirnya Bagus berani menghubungiku, meskipun hanya lewat telepon, dia minta maaf dan menceritakan semua dukanya padaku.

"Hidupku telah hancur, cita-citaku tak sampai, aku diusir dan dihina oleh mertuaku, bahkan tak diizinkan ku asuh dan kurawat putriku, hidupku benar-benar hancur." Ratapan Bagus, menghanyutkan emosiku.

"Aku tau ini pasti salahku, Allah telah mengabulkan sumpahmu, karena aku telah mengkhianatimu." Bagai sembilu suara bagus menyayat qolbuku.

Aku semakin merasa bersalah, sungguh akupun sangat menyesal. Tapi aku coba kuasai jiwaku agar tetap di tempatnya. Seketika aku menjadi gelap mata.
..............
Dan aku tak punya hati
Untuk mencintaiiii...
Dirimuu
Yang slalu
Mencintai diri ini
Walau kau tahu
Diriku,
Masih bersamanyaa..

Setiap lirik lagu Chrisye "Andai aku bisa," seolah mewakili hasratku, tapi aku sadar ini semua tidak benar. Ya Allah ampuni aku. Aku terbangun dari mimpi burukku.

"Aku telah memaafkanmu, bahkan akupun minta maaf atas semua yang telah terjadi, dulu mungkin aku sangat marah padamu, sakit dan sesakit-sakitnya, sampai kuucap sumpah itu, tapi aku sadar inilah takdirku, maka berbahagialah dengan keluargamu." Doa dan harapanku.

"Sekali lagi maafkan aku, aku menyesal telah meninggalkan mutiaraku, seandainya waktu bisa kembali, tak sekuku hitampun ku goreskan luka itu," suara lirih Bagus, penuh nestapa.

"Semua sudah terjadi, nasi sudah menjadi bubur, tapi kita masih bisa jadi teman karena itu yang terbaik." Sepenuh hati aku sampaikan pesan ini.

Ternyata tidak selesai sampai di situ. Setelah beberapa bulan berlalu dari peristiwa itu, Bagus kembali menghubungiku. Kali ini dia bukan minta maaf, karena saat ini kehidupannya sudah mulai membaik.

Usaha yang dia rintis mulai menunjukkan hasil, Istrinya juga mempunyai pekerjaan yang mapan. Dia juga sudah dikaruniai anak yang sehat. Singkat cerita hidupnya sudah sukses sekarang.

Mendengar hal itu akupun merasa senang dan bersyukur. Aku berharap ini adalah alamat yang baik untuk kehidupan kami. Akan aku kubur masa lalu itu dalam-dalam. Semua sudah membaik, tidak ada lagi nestapa.

Akan tetapi, semua di luar kuasaku. Bagus meminta aku kembali padanya, karena dia masih mencintaiku. Bagus juga yakin kalau aku juga masih mencintainya. Berbagai alasan dia sampaikan untuk meyakinkanku. Hampir setiap hari dia menelponku, terkadang aku jawab, terkadang juga tidak. Hingga pada suatu ketika dia kirim WA padaku.

"Assalamualaikum, tolong balas chatku, hidupku tidak lama lagi, dokter memfonisku, aku hanya punya waktu 5 tahun lagi." Chat itu membangkitkan naluriku.

Antara percaya dan tidak akhirnya aku membalas kiriman itu.

"Walaikumsallam, apa maksudmu, jangan main-main dengan hidupmu, belum puaskah kau menyiksa batin dan fikiranku selama ini!" Dengan tegas ku sampaikan itu.

"Aku tahu, aku salah, aku hanya mengatakan yang sebenarnya, sampai mati kau tetap di hatiku." Bagus mencoba meyakinkanku.

"Benar apa, kali ini kau sungguh melewati batasmu, ingat saat ini aku adalah wanita bersuami." Kembali ku tegaskan posisiku.

"Aku tahu, bahkan aku siap menyampaikan perasaanku ini pada suamimu." Bagus semakin menggila.

"Aku hanya mau mendengar kalimat cinta darimu, sebelum aku meninggalkan dunia ini." Bagus semakin menguji logikaku.

"Cukup, aku tidak mau mendengar itu lagi, kau hanya masa lalu, yang tak akan mungkin terulang lagi kebodohanku olehmu." Jiwaku bergemuruh.

"Tidak, aku sudah tidak mencintaimu, dan tidak akan pernah lagi mencintaimu, pergi jauh dariku, berbahagialah dengan keluargamu." Tul, ku tutup hp ku, tanda aku tak mau lagi berkomunikasi dengan Bagus.

Sejak saat itu, aku tak lagi berkomunikasi dengannya. Hingga pada suatu malam, suara telepon berdering, hp suamiku berbunyi. Aku dengar berkali-kali berdering, tapi aku tidak berani mengangkatnya.

"Hallo siapa ini?" Ku dengar suamiku mengangkat telepon.

"Bagus!" Wajah suamiku seketika menegang.

Mendengar nama Bagus, spontan aku terperanjat.

"Siapa?" Suaraku nyaris tak terdengar.

"Ba-gus.." suamiku mengeja, kode agar tak terdengar oleh lawan bicaranya.

Hatiku semakin tak karuan, anganku terbang melayang, jiwaku bergoncang, bagai tak menapak bumi.Mau apa dia, apa yang harus aku lakukan, sungguh aku galau tingkat dewa.

Bersambung--------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar